Monday, October 3, 2016

Kopi warning - Warung Kuning Malang - WK



“Hidup ini kaya’ minum kopi, ada pahit ada manis nya. Semuanya campur aduk jadi satu rasa. Tapi biasanya kita ndak’ sadar kalo manis sama pahit itu sebenarnya satu, termasuk saya. Apalagi kalo akhir bulan, wah, rasanya pahit terus tuh.., ha..ha..ha” kemudian Anas Tohir (23) menenggak kopinya yang mulai mendingin.

Sementara di luar kedai cuaca siang di malang masih sama, panas. “Malang sekarang kota ruko mas..ha..ha..ha..”, lanjut Anas, yang disambut senyum sama yang lain. Bibir jalan raya yang jaraknya hanya sekitar 4 meter dari bangku terdepan kedai, selalu mendengungkan suara kendaraan yang bising. Sehingga suara-suara obrolan dari dalam kedai kopi ini agak terdistorsi oleh raungan knalpot kendaraan. Namun suasana itu sepertinya sudah sangat akrab bagi para pecandu kopi di kedai ini. Kedai yang terletak di pinggiran kampus Universitas Negeri Malang, yang masih dikenal dengan nama IKIP Malang, bahkan sampai sekarang.


Di kedai kopi sederhana yang dikenal dengan nama WK (Warung Kuning) ini biasanya mereka berkumpul. Biasanya mereka bergerombol sesuai dengan kelompoknya. Para aktivis organisasi ekstra dengan orang-orangnya, lembaga intra kampus dengan mahasiswa seprofesinya, mahasiswa pecinta alam, anak-anak band, para aktivis Unit Kegiatan Mahasiswa, atau mahasiswa yang tak aktif di organisasi manapun. Tentunya heterogenitas itu tak membuat sekat diantara mereka. Malah, seringkali mereka terlibat dalam satu masalah yang menuntut antusiasme dari semua golongan. “yang pasti warung ini punya pelanggan tetap. Ya mahasiswa-mahasiswa itu, yang ndak lulus-lulus..” kata bu Sutini tersenyum, yang punya kedai, sambil menunjuk pada gerombolannya Anas Tohir.

Dalam situasi seperti ini, kedai kopi benar-benar jadi kampus alternatif bagi mahasiswa. Tentunya para mahasiswa yang tak mau terus tersekat sama formalitas kampus. Dengan hanya ditemani segelas kopi dan beberapa batang rokok, merekapun mendiskusikan apa saja, sekena pemikiran mereka. Dari mulai politik kampus, kebijakan kampus yang sampai saat ini tak pernah berpihak pada mahasiswa, masalah-masalah kenegaraan yang masih hangat, sampai obrolan yang remeh-temeh seperti dunia merah muda, wanita. “Dari minus tak hingga, sampai plus tak hingga, ha..ha..ha..” ujar Misbach (20), mahasiswa jurusan fisika di UM ini. Merekapun sepakat mengusung ideologi untuk mereka sendiri. Ideologi suka-suka, yang berarti tak ada larangan untuk mengusung ideologi apapun sepanjang tidak mengintervensi yang lain.

Dari obrolan kecil-kecilan di kedai inilah akhirnya mereka sepakat membentuk kelompok-kelompok diskusi. Ikatan yang dibangun antar kelompok diskusi pun tidak mengarah pada formalitas. “yang mau gabung dan intens ya silakan, yang ndak, ya ndak pa-pa..” Ujar Anas Tohir, salah satu pendiri komunitas kopi filsafat ini. Sebuah ikatan yang didasarkan pada kultur, tidak pada struktur. Yang ternyata terbukti efektif melahirkan para pemikir.

Dengan cara mereka sendiri, mereka selalu bisa merancang forum diskusi seperti yang mereka inginkan. Tak ada sekat yang membagi antara moderator, pemateri, dan peserta seperti diskas-diskas formal yang sering diadakan di kampus. Moderator, pemateri, dan peserta adalah mereka sendiri. Sehingga tak jarang pula diskas mengarah pada debat kusir yang tak terselesaikan. Namun inilah yang menjadi ciri khas diskas di warung kopi, kesimpulan dari diskas itu kembali pada mereka masing-masing.

Kebebasan berpendapat di kedai kopi ini mengingatkan Taman Academos yang merupakan cikal bakal demokrasi Yunani. Sebuah taman yang dibangun pemerintah Athena untuk menghormati para pejuangnya yang gugur saat perang Troya. Di taman Academos ini, para pemikir Yunani selalu berkumpul dan melakukan perhelatan intelektual. Di forum ini, kebebasan untuk berpendapat dilindungi. Bahkan menghujat pemerintah sekalipun.

Perbedaannya di kedai kopi ini tidak seheterogen taman Academos. Jika taman Academos akhirnya milik semua golongan, dari bangsawan, orang-orang pemerintah, pelajar, sampai rakyat jelata. Kalau di kedai kopi ini sebagian besar diisi oleh mahasiswa. Persamaan taman Academos dan kedai kopi ini adalah tidak ada ancaman dan hukuman untuk mengeluarkan pendapat, hujatan, kritik, bahkan makian.

Di kedai kopi sederhana inilah demokrasi mahasiswa menemukan momentumnya. tak jarang hasil diskas dari suatu permasalahan itu diaplikasikan di dunia nyata. Ini terbukti saat mereka turun kejalan dan ikut demonstrasi menentang pembangunan super mall di area pendidikan, Malang Town Square (MATOS), beberapa tahun yang lalu. Tentunya dengan membawa nama Komunitas Warung Kuning, nama kedai kopi ini. Fenomena ini mirip seperti gagasan Mandlle pada pidatonya di depan peserta konggres Socialist Party Internasional 1955 di Amerika, yang menekankan pentingnya penyatuan antara teori dan praktek.

Akhirnya Mereka Membatik Rokok







Namun masih ada agenda lagi, yang tak mungkin mereka tinggalkan. Biasanya juga mereka kesini untuk tujuan yang satu ini. Membatik rokok, atau bahasa akrabnya nyete. “Sepertinya ini sudah seperti ritual. Kalo’ kesini, ya, wajib nyete..” ujar Munawar (20), aktivis salah satu organisasi ekstra asal madura ini.

Biasanya, jika sudah terasa lelah berdiskusi, satu persatu peserta diskas menarik diri dengan asyik sendiri membatik rokok (nyete). Ini adalah ritual yang dibangun secara tidak langsung oleh mereka. Kalau peserta dikas mulai nyete, berarti mereka sudah menemukan kesimpulan, paling tidak untuk mereka sendiri. Dengan artian lain, diskusi untuk tema tertentu sudah diakhiri. Biasanya sambil nyete, mereka ngobrol tentang hal yang ringan-ringan sambil memfokuskan pola-pola batik pada batang rokok mereka.

Sederhananya, nyete adalah mengoleskan sisa ampas kopi ke batang-batang rokok. Namun olesan itu bukan sekedar olesan ngawur, ada pola atau motif tertentu. Motif yang berbeda-beda tergantung yang mengoleskannya. Kalau sang penyete sudah ahli, pasti olesannya indah dan artistik, seperti batik. Namun bagi para pemula, cukup sekedar mengoleskan saja tanpa pola tertentu. Setelah olesan-olesan itu mengering, barulah rokok dihisap. Aroma yang akan di timbulkan rokok cete tentunya berbeda dengan aroma rokok tanpa cete. Biasanya lebih harum dan gurih. Namun kegurihan dan keharuman itu tetap tergantung pada jenis kopinya. Rokok cete juga menjaga agar rokok awet dihisap.

“Biasanya kopi yang dipakai buat nyete ada campuran-campuran khusus. Kalau saya mencampurkan bubuk vanili ke racikan kopi. Makanya aromanya harum dan cetenya terasa gurih. Ada juga yang dicampuri bubuk kacang ijo, namanya kopi ijo, khas sekali kopi cete dari Tulungagung” ucap bu Sutini yang asli Tulungagung ini.

Bagi Anas, nyete dari ampas kopi yang dicampuri bubuk vanilli menimbulkan sensasi tenang pada pikiran. Tentunya jika pikiran sudah mulai tak terkendali akibat kelamaan diskusi. “daripada hisap ganja, lebih baik hisap rokok cete..” ujarnya sambil tersenyum.

Baginya juga, nyete bukan sekedar melukis rokok dengan ampas kopi untuk menambah aroma rokok. Nyete baginya punya makna yang cukup dalam. Nyete adalah analogi untuk gerakan mahasiswa serta gerakan-gerakan dengan basic moral lainnya. “Kalau kita nyete, kita akan menghias batang rokok dengan motif seindah mungkin. Bagi yang mahir, akan mengasilkan motif yang indah. Bagi pemula, maka motifnya tak beraturan. Namun pada akhirnya apapun lukisannya, pasti akan terbakar jadi asap yang tak berarti. Seperti gerakan mahasiswa, yang pasti akan terbakar jadi asap tak berarti. Namun yang penting bukan terbakarnya, tapi saat melukiskan rokok itu…” ucapnya sambil tersenyum penuh falsafah.

Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa, kata Gie. Pada akhirnya mereka pun kembali pada segelas kopi dan hisapan rokok cete. Namun setidaknya mereka telah melalui masa dimana kebebasan berpendapat benar-benar milik mereka. Tanpa tersekat dan tanpa terpaksa. Ini merupakan syarat bagi lahirnya para pemikir. Di kedai-kedai kopi inilah, mereka menemukan dirinya sendiri.



sumber gambar: google.com
sumber artikel: mozza.asia

1 comment:

  1. mohon ijin Comment. Warning sudah jadi langganan saya pada saat tinngal dimalang. saya lupa dari kapan waktu pertama kenal kurang lebih pertengahan 90an sampai 2000an. akan tetapi saya inget persis saya bisa 4X sehari kewarning.Sampai2 kalau mau makan saya nunggu diambilin nasinya (waktu itu harus ambil sendiri) sambil nongkrong di depan tungku dapurnya. Sudah kenyang lanjut ngopi sambil "nyethe"/ngebathik rokok. sungguh kenangan yang tak terlupakan. terimakasih buat admin yang mengulas warning. mengungkit kembali memori yang telah jauh terpendam kembali terbayang jelas, seolah2 itu baru kemaren, padahal sudah berlalu puluhan bahkan belasan tahun lalu. Thanks

    ReplyDelete